Kamis, 24 September 2009

PRIORITASKAN KESEJAHTERAAN GURU

Prioritaskan Kesejahteraan Guru
Oleh Paulus Mujiran
Sumber : Harian Suara Pembaharuan
WACANA mengangkat pekerjaan guru sebagai profesi, seperti menjadi agenda Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo, menarik dicermati. Ketika berbicara mengenai profesi guru, saya teringat potongan lagu himne guru berikut, Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan, Engkau patriot pahlawan bangsa, Tanpa tanda jasa.
Potongan lagu himne guru di atas menunjukkan betapa pentingnya keberadaan seorang guru bagi kehidupan seorang manusia dalam mengenal dunia. Tanpa guru, tidak akan muncul generasi pintar yang akan membangun bumi ini. Semua orang pasti mengakui jasa seorang guru bagi dirinya walau hanya di dalam hati, tetapi mereka hanya mengakui dengan tanpa upaya memberikan suatu penghargaan yang lebih dibanding kepada profesi lain.
Akibatnya, profesi guru yang dulu merupakan profesi yang paling bergengsi dan menjadi dambaan bagi generasi muda pada zaman leluhur kita, kini menjadi profesi yang kurang diminati dan dihargai dibanding dengan profesi lainnya. Orang tua akan sangat bangga jika anaknya menjadi seorang dokter, insinyur, tentara, polisi, atau profesi lainnya dibanding menjadi seorang guru.
Pada jaman penjajahan Belanda, status profesi guru memang sangat tinggi. Guru dipandang sebagai pemimpin masyarakat yang disegani dan mempunyai status ekonomi yang relatif tinggi. Dalam buku Siti Sahara, Wanita Guru Pertama dari Mandailing, dalam Guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa ditulis, pada tahun 1920-an misalnya, Ibu Guru Siti Sahara mempunyai gaji sebesar 40 gulden sebagai guru Kepala Sekolah Wanita di Bireum. Suatu jumlah yang amat besar waktu itu, mengingat ungkapan pada masa kolonial mengatakan bahwa seorang inlander cukup hidup dengan segobang (2,5) sen sehari.
Pada masa penjajahan Jepang, status profesi guru juga masih terhormat. Para guru diberi julukan Sensei yang dalam kebudayaan Jepang mempunyai kedudukan sosial yang amat dihormati. Dalam masa awal perjuangan kemerdekaan, para guru juga dihargai karena mereka bukan saja mengambil peran amat penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga ada yang ikut aktif menjadi tentara rakyat dan berperang mengusir penjajah.
Pascakemerdekaan sampai tahun 1950-an, citra dan status profesi guru dalam masyarakat juga masih tinggi. Para guru masih dilihat dan diperlakukan bukan hanya sebagai pendidik yang pantas digugu dan ditiru di sekolah, tetapi juga sebagai pemimpin masyarakat yang terhormat. Tingginya citra guru pada zaman penjajahan dan awal kemerdekaan di Indonesia berkait erat dengan citra masyarakat memandang profesi guru.
Pada masa itu, guru dicitrakan amat bagus karena berkait erat dengan status sosial (ekonomis, politis dan budaya) pemegang profesi yang bersangkutan dan kredibilitas professional para guru. Status ekonomi para guru pada waktu itu memang tinggi. Mereka mendapat imbalan jasa yang memadai untuk hidup sejahtera bersama keluarga.
"Digugu" dan "Ditiru"
Secara politis, guru diperlukan pemerintahan penjajah dalam rangka menunjang politik etisnya. Dengan kebijakan memberikan pendidikan dasar pada sementara inlander untuk tugas-tugas administratif yang diperlukan penjajah.
Dari sisi budaya, relasi guru dengan padepokan-padepokan sebagaimana terungkap dalam hubungan dengan para kyai di pesantren-pesantren, guru sungguh dilihat sebagai pemimpin yang digugu dan ditiru. Dalam masyarakat Jawa ada ungkapan, guru ratu wong tuwo akaro. Artinya, orang wajib menaati pertama-tama gurunya, kemudian rajanya, dan baru orang tuanya.
Dari uraian itu, jelas salah satu cara mengangkat citra guru bukan dengan memberikan sertifikasi seperti pengacara atau dokter, melainkan dengan memperbaiki citranya dalam masyarakat. Perbaikan citra erat kaitannya dengan mengubah cara pandang masyarakat terhadap pekerjaan guru. Persoalannya, kini citra guru sudah telanjur terpuruk dan bahkan pekerjaan guru dianggap pelarian karena tidak ada pekerjaan yang lebih layak.
Menurut penelitian Dr Martinus Tukir Handoko (1992:65), dari sekian banyak guru sebenarnya pada mulanya tidak mempunyai motivasi menjadi guru. Pada mulanya, mereka memang bersekolah di Sekolah Pendidikan Guru, tetapi sebenarnya tidak mempunyai maksud menjadi guru. Ada yang karena tidak diterima di sekolah lain, ada yang karena dipaksa orang tuanya, karena ekonomi keluarganya yang lemah, sehingga terpaksa masuk ke pendidikan guru.
Banyak orang tak mau menjalani profesi tersebut, sementara mereka yang sudah menjadi guru beralih ke profesi lain yang memberikan kesejahteraan lebih baik. Menurut data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, jumlah guru SD yang berpindah profesi per Juli 2004 sudah mencapai 50,6 persen dari 993.108 guru yang ada. Menjadikan guru sebagai profesi tidak menjamin citra guru akan meningkat. Bahkan guru semakin dituntut pengabdiannya yang besar kepada masyarakat bahkan dengan imbalan yang amat rendah.
Mending, menjadi pengacara atau dokter yang memperoleh izin membuka praktik sendiri manakala imbalan dari pekerjaan resminya sangat kecil. Guru sangat tergantung pada pekerjaan yang diciptakan oleh orang lain entah itu perorangan, yayasan atau pemerintah. Dengan demikian, guru harus patuh terhadap norma-norma yang dibuat oleh kekuasaan di luar dirinya sendiri.
Profesionalisme adalah suatu paham yang mencitakan dilakukannya kegiatan-kegiatan kerja tertentu dalam masyarakat, berbekalkan keahlian yang tinggi dan berdasarkan rasa keterpanggilan - serta ikrar (fateri/profiteri) untuk menerima panggilan tersebut - untuk dengan semangat pengabdian selalu siap memberikan pertolongan kepada sesama yang tengah dirundung kesulitan di tengah gelapnya kehidupan (Wignjosoebroto, 1999).
Dengan demikian seorang profesional jelas harus memiliki profesi tertentu yang diperoleh melalui sebuah proses pendidikan maupun pelatihan yang khusus, dan disamping itu pula ada unsur semangat pengabdian (panggilan profesi) di dalam melaksanakan suatu kegiatan kerja.
Hal ini perlu ditekankan benar untuk membedakannya dengan kerja biasa (occupation) yang semata bertujuan untuk mencari nafkah dan/ atau kekayaan materiil-duniawi. Lebih lanjut dijabarkan, profesionalisme dalam tiga watak kerja yang merupakan persyaratan dari setiap kegiatan pemberian "jasa profesi" (dan bukan okupasi).
Pertama, bahwa kerja seorang profesional itu beriktikad untuk merealisasikan kebajikan demi tegaknya kehormatan profesi yang digeluti, dan oleh karenanya tidak terlalu mementingkan atau mengharapkan imbalan upah materiil;
Kedua, bahwa kerja seorang profesional itu harus dilandasi oleh kemahiran teknis yang berkualitas tinggi yang dicapai melalui proses pendidikan dan/atau pelatihan yang panjang, eksklusif dan berat;
Ketiga, bahwa kerja seorang profesional - diukur dengan kualitas teknis dan kualitas moral - harus menundukkan diri pada sebuah mekanisme kontrol berupa kode etik yang dikembangkan dan disepakati bersama didalam sebuah organisasi profesi.
Ketiga watak kerja tersebut mencoba menempatkan kaum profesional (kelompok sosial berkeahlian) untuk tetap mempertahankan idealisme yang menyatakan bahwa keahlian profesi yang dikuasai bukanlah komoditas yang hendak diperjual-belikan sekadar untuk memperoleh nafkah, melainkan suatu kebajikan yang hendak diabdikan demi kesejahteraan umat manusia.
Kalau di dalam pengamalan profesi yang diberikan ternyata ada semacam imbalan (honorarium) yang diterimakan, hal itu semata hanya sekadar "tanda kehormatan" (honour) demi tegaknya kehormatan profesi, yang jelas akan berbeda nilainya dengan pemberian upah yang hanya pantas diterimakan bagi para pekerja upahan saja.
Kerja Sampingan
Masih rendahnya tingkat profesionalisme guru saat ini disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari internal guru itu sendiri dan faktor lainnya yang berasal dari luar. Faktor-faktor tersebut antara lain: Penghasilan yang diperoleh guru belum mampu memenuhi kebutuhan hidup harian keluarga secara mencukupi. Oleh karena itu, upaya untuk menambah pengetahuan dan informasi menjadi terhambat karena dana untuk membeli buku, berlangganan koran, internet, tidak tersedia. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan dapur harus juga melakukan kerja sampingan lainnya.
Di samping itu, kurangnya minat guru untuk menambah wawasan sebagai upaya meningkatkan tingkat profesionalisme sebab bertambah atau tidaknya pengetahuan serta kemampuan dalam melaksanakan tugas rutin tidak berpengaruh terhadap pendapatan yang diperolehnya. Kalaupun ada, hal itu tidak seimbang dengan pengorbanan yang telah dikeluarkan.
Serta, meledaknya jumlah lulusan sekolah guru dari tahun ke tahun. Hal itu merupakan akibat dari mudahnya pemerintah memberikan izin pendirian LPTK (Lembaga Pendidikan Tinggi Keguruan). Mereka yang tidak tertampung oleh pasar kerja, mencoba menjadi guru, sehingga profesi ini menjadi pekerjaan yang "murah".
Ironis memang, guru yang telah banyak menghasilkan para pemimpin, politisi dan ilmuwan serta berbagai profesi lainnya, kini dianggap sebagai profesi "murah" dan menjadi kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Hal ini bukanlah harus dilawan oleh guru secara fisik atau perang kata-kata agar yang lain mau mengakui dan menerima guru sebagai tenaga yang profesional yang berjasa bagi pembangunan negeri ini.
J Sudarminta (2001:60) mengatakan, dari sisi guru sendiri rendahnya mutu guru tampak dari gejala: 1) lemahnya penguasaan bahan yang diajarkan; 2) ketidaksesuaian antara bidang studi yang dipelajari guru dan yang dalam kenyataan di lapangan dijabarkan; 3) kurang efektifnya cara pengajaran; 4) kurangnya wibawa guru di hadapan murid; 5) lemahnya motivasi dan dedikasi untuk menjadi pendidik yang sungguh-sungguh; semakin banyak yang kebetulan menjadi guru dan tidak betul-betul menjadi guru; 6) kurangnya kematangan emosional, kemandirian berpikir, dan keteguhan sikap sehingga dari kepribadian mereka sebenarnya tidak siap sebagai pendidik dan 7) relatif rendahnya kapasitas intelektual calon guru dan para guru.
Mengangkat citra guru, sebagaimana zaman penjajahan, jelas tidak mungkin. Namun, jika pemerintah mau sungguh-sungguh, seperti perbaikan insentif material dan kesejahteraan hidup, maka profesi guru akan membaik. Komitmen politik Mendiknas mestinya tidak hanya menjadikan guru sebagai profesi tetapi juga didahului dengan perbaikan kesejahteraan dan kualitas guru.
Penulis adalah Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata (YKKS), tinggal di Semarang
________________________________________
Last modified: 10/5/05

Sabtu, 19 September 2009

info sertifiksi guru

Bagi yg penasaran dengan info sertifiksi bisa lihat di link ini..

Sabtu, 12 September 2009

Teori Belajar Behavioristik

Teori Belajar Behavioristik
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman [1].Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.

Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.
Teori Belajar Menurut Watson
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).
Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
Teori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Analisis Tentang Teori Behavioristik
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara;
Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama;
Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.
Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.
Rujukan
1. ^ [Gage, N.L., & Berliner, D. 1979. Educational Psychology. Second Edition, Chicago: Rand Mc. Nally]
Bell Gredler, E. Margaret. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali
Moll, L. C. (Ed.). 1994. Vygotsky and Education: Instructional Implications and Application of Sociohistorycal Psychology. Cambridge: Univerity Press
Degeng, I Nyoman Sudana. 1989. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variable. Jakarta: Depdikbud
Gagne, E.D., (1985). The Cognitive Psychology of School Learning. Boston, Toronto: Little, Brown and Company
Light, G. and Cox, R. 2001. Learning and Teaching ini Higher Education. London: Paul Chapman Publising
Slavin, R.E. 1991. Educational Psychology. Third Edition. Boston: Allyn and Bacon
Slavin, R.E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice. Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik"

SMAN 1 DEPOK : SURAT TERBUKAKU UNTUK GURUKU

Assalaamu Alaikum Wr.Wb.
Andea Hirata mengenang gurunya yang luar biasa dan sebelas temannya yang kemudian
melahirkan empat novel best seller.
Harusnya saya dapat menulis banyak novel mengenang guru-guru saya yang luar biasa
dengan ratusan teman-teman alumni SMAN 1 Depok nun 21 tahun lalu, tetapi..sepucuk
surat pun tidak dapat saya terbitkan….
Melalui milis ini saya ingin mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga kepada guru-guru saya dulu terutama kepada :
1. Ibu Dra. Hj.Yetti Darliaty, yang dulu sering menghadiahi saya buku kimia setiap kali
ulangan kimia dengan nilai terbaik;
2. Bpk. Zairin Zaini, yang banyak membantu saya dalam menopang keuangan sehingga
saya dapat bea siswa dari sekolah melalui program komite, dan mengikut sertakan
saya pada kursus komputer secara gratis..
3. Ibu Yeti Wianti,S.Pd, yang banyak memberi motivasi selama saya belajar, juga dengan
suaminya tercinta.
4. Ibu Dra. Eri, Guru Matematika yang penuh kesabaran membimbing saya, dan
memberi inspirasi yang luar biasa, sehingga …saya pun mengikuti jejaknya sebagai
guru Matematika, meski pun nun jauh di sebuah SMA di Provinsi Jambi…
5. Ibu Hj. Endang Sri W, yang memberi wawasan bahwa “carilah perguruan tinggi yang
lulusannya tidak mungkin di PHK, lihat di koran-koran mana profesi yang dibutuhkan
Ke PT itulah seyogyanya kalian kuliah…” ( Sambutan upacara Beliau 22 th lalu )
Dan guru yang lain yang tidak sempat disebut …( Ibu Hj.Rosda, Bpk Drs. Sanusi)..
Melalui milis ini saya katakan bahwa Bapak dan Ibu sudah membuat monumen yang sangat besar yang tiada ternilai yang sulit untuk disebutkan disini..
Terima kasih, semoga Bapak /Ibu selalu dalam LindunganNya, dan dapat menjadi teladan
semua guru.
17 tahun saya jadi guru dengan jabatan dulu sebagai Wakasek Kurikulum juga sekarang Wakasek humas, tetapi belum bisa mengimbangi apa yang telah Bapak/Ibu lakukan.
Andai saya Andea Hirata, tentu sudah saya tulis tentang budi baik Bapak Ibu yang dulu
mengangkat saya sebagai anak asuh guru-guru SMAN 1 Depok.Saya masih ingat
tahun 1988, saat saya lulus hanya bisa memberikan kenang-kenangan untuk sekolah
berupa nilai rata-rata NEM 8,2…..Alhamdulillah saat itu SMA 1 Depok menjadi SMA terbaik se Kabupaten Bogor. Dan saya adalah orang pertama ( dikawani Jamilah) yang
diterima di UI lewat PMDK yang mana sebelum itu tidak pernah terjadi….
Juga saya diterima di OverSeas Program ( Program Ikatan Dinas BJ Habibie) untuk kuliah ke luar negeri,…tapi saya telah pilih UI, karena disana saya sebagai duta sekolah….. Teman saya Uki Ukanto mengambilnya dan kuliah di UCLA USA.
Semakin saya menggeluti sebagai guru, semakin saya ingat kebesaran bapak/Ibu guru
yang pernah saya alami selama sekolah si SMA ini.
Ucapan terima kasih ini saya lantunkan :
“You raised me up so I can stand on Mountains, You raised me up to walk on stormy seas .I am strong when I am on your shoulders, you raised me up to more than I can be”
( Goerge Groban )
Hormat saya,
Uud Hudaya,S.Pd.
Alumni SMAN 1 Depok tahun 88 , Guru Matematika SMAN 2 Pelepat Ilir, Bungo,Jambi

Kamis, 10 September 2009

MATEMATIKA SMA : LATIHAN ULANGAN PELUANG

Soal Latihan Ulangan Peluang
1. Dari kota A ke Kota B dihubungkan dengan 3 jalan;Dari kota B ke kota C
Dihubungkan dengan 5 jalan. Hitung:
a. Banyak rute dari kota A ke kota C melalui kota B;
b. Banyak rute dari kota A ke kota C melalui kota B pulang pergi;
c. Banyak rute dari kota A ke kota C melalui kota B pulang pergi di mana saat pulang tidak boleh melalui rute yang sama pada saat pergi;
2. Tersedia angka-angka : 0,1,2, …,9. Akan disusun bilangan ribuan dari angka-angka tersebut. Hitung :
a. Banyak bilangan ribuan yang terbentuk !
b. Banyak bilangan ribuan ganjil yang terbentuk !
c. Banyak bilangan ribuan kelipatan 5 yang terbentuk
d. Banyak bilangan ribuan yang kurang dari 4000 yang terbentuk!
3.Terdapat 5 kandidat pengurus kelas untuk menduduki jabatan Ketua dan wakil ketua . Hitung banyaknya cara pemilihan !
4. Terdapat 6 putra dan 5 putri. Dari ke-11 orang tadi akan diutus 5 orang yang terdiri 2 putra dan 3 putri untuk menghadiri seminar. Hitung banyak cara pemilihannya !
5. Terdapat 7 manik-manik yang berbeda warna . Dari ke-7 manik-manik itu akan dibuat kalung. Hitung banyak kalung yang berbeda yang dapat dibentuk !
6. Hitung banyak kata yang berbeda yang dapat dibentuk dari kata : SASTRA
7. Dua dadu dilempar serentak. Hitung Peluang :
a. Muncul mata dadu berjumlah 10
b. Mata dadu bermata sama;
c. Mata dadu berjumlah kurang dari 6 atau berjumlah lebih dari 9.
d. Mata dadu berjumlah 8 atau bermata sama
8. Pada Kotak I terdapat 8 bola merah dan 7 bola putih; Pada Kotak II terdapat 5 bola merah dan 6 bola putih.Akan diambil satu bola dari masing-masing kotak.
a. Hitung peluang terambil keduanya bola merah;
b. Hitung peluang terambil bola merah pada kotak I dan bola putih pada kotak II
c. Jika hasil pengambilan dari kotak I dimasukan ke kotak II lalu diambil satu bola lagi dari Kotak II, Hitung peluang terambil bola putih pada kotak I dan bola merah pada Kotak II.
9. Delapan siswa akan menduduki tempat duduk berbentuk lingkaran. Hitung banyak Duduk mereka !
10. Peluang Budi Lulus = 0,8. Peluang Susan Lulus = 0,6. Hitung Peluang :
a. Keduanya lulus;
b. Budi Lulus tetapi Susan tidak lulus;
c. Tidak satu orang pun yang lulus

SERTIFIKASI GURU : IMBASNYA DI TINGKAT SEKOLAH

SERTIFIKASI GURU: IMBASNYA DI TINGKAT SEKOLAH
Sertifikasi guru sudah bergulir 2 tahun. Kini, profesi guru menjadi profesi yang cukup bergengsi. Pada Top Ten Metro TV, yang mengulas 10 profesi yang disukai masyarakat,Ternyata profesi guru menempati urutan pertama, yang diikuti dengan profesi dokter, paramedis, dan seterusnya. Ini adalah suatu perubahan yang sangat luar biasa selama 60 tahunan. Sejarah keguruan menorehkan bahwa supremasi profesi guru pernah terjadi pada saat penjajahan Belanda. Pada saat itu menjadi guru sangat selektif sekali. Tidak sembarang orang bisa untuk menjadi guru. Setelah seorang sarjana lulus dan mengabdikan sebagai guru di sebuah sekolah, maka ia pun masih harus melalui tahapan pemantauan pamong guru dan pengawas, sebelum dianggkat sebagai guru. Pada Buku “Sukarno : Penyambung Lidah Rakyat”, tertulis bahwa Sukarno, Presiden pertama RI kita pun pernah menjadi tenaga guru honorer, dan..tidak lulus menjadi guru….Saat itu, dokter yang menjabat sebagai dosen memiliki penghasilan yang lebih tinggi dari dokter praktik. Itulah mengapa pada Zaman Belanda guru dipanggil dengan panggilan Ndoro Guru pada masyarakat Jawa, yang menandakan Guru menempati posisi sebagai priyayi yang mendapat posisi terhormat.
Setelah 60 tahunan, kini posisi itu kembali ke tempatnya semula. Profesi Guru bukan lagi profesi sembarangan yang melulu diisi oleh orang-orang buangan: Yang gagal masuk IKIP lalu terpaksa masuk IKIP. Yang gagal jadi dokter, terpaksa jadi guru dan sebagainya. Kini orang-orang terbaik bangsa sudah membidik guru sebagai profesi yang prospektus dan memjanjikan kesejahteraan bagi penyandangnya.
Di Tingkat nasional, kini anggaran terbesar APBN adalah untuk pendidikan yaitu sebesar minimal 20 % yang mesti juga diikuti oleh APBD provinsi dan kabupaten. Apabila hal ini dapat berjalan sesuai ketentuan , maka pendidikan pada umumnya dan kesejahteraan guru pada khususnya menjadi lebih maju setara dengan kemajuan di negara-negara maju dan tetangga. Pada acara Rembug Nasional Pendidikan , Mendiknas Bambang Sudibyo, menggaris bawahi bahwa apabila sertifikasi ini berjalan , maka ratusan trilyun akan mengalir untuk kesejahteraan guru. Bahkan Paskah Suzeta sebagai Ketua Bapenas, pernah menyampaikan pada berita berjalan TV, bahwa terjadi kecemberuan sosial dengan profesi guru karena dana negara tersedot banyak untuk profesi ini.
Imbas logis dari kebijakan profesi ini di kalangan guru di lapangan sangat luas. Kini dikenal Guru dan guru. Guru ( dengan G huruf besar) memiliki penghasilan rata 5 juta, sementara guru biasa yang belum tersertifikasi bergaji 1,5 - 3 juta. Ini memicu kecemburuan di kalngan guru itu sendiri bahkan untuk di tingkat sekolah. Tetapi kecemburuan ini tidak terlalu menajam karena mereka yang tersertifikasi pun dibebani tugas mengajar yang berat, yaitu wajib mengajar 24 jam seminggu, kecuali untuk kepala sekolah yang cukup mengajar 6 jam , serta wakil kepala sekolah dengan jam wajib 12 jam. Selebihnya wajib 24 jam pada bidang tugas sesuai bidang studi yang diampu.
Ini pun di tataran lapangan mengakibatkan ekspansi jam mengajar yang telah terbukti menyisihkan tenaga honorer. Hampi setiap tahun di sekolah-sekolah negeri, sejumlah guru honorer dirumahkan, karena jam mengajarnya diambil alih oleh guru negeri demi
hukum dan peraturan serta tuntutan profesi.
Imbas lainnya adalah pengawas yang merupakan tenaga quality control dari kinerja guru mengalami kesenjangan penghasilan yang otomatis menurunkan prestisenya dimata guru. Mungkinkah yang bergaji 3 juta mengawasi yang bergaji 5 juta ? tapi untunglah bahwa hal ini sudah dapat diatasi dengan keluarnya Peraturan Pemerintah yang memasukan tenaga pengawas sebagai jabatan fungsional yang juga berhak atas tunjangan fungsional. Tetapi dengan syarat : pengawas itu berasal dari guru atau kepala sekolah yang tersertifikasi dan mendapat tugas tambahan sebagai pengawas.
Imbas lainnya adalah sulitnya mencari guru yang mau memduduki jabatan kantor semisal kepala UPTD atau Kepala Bagian/Bidang di kantor Dinas Pendidikan kabupaten.
Hal ini jelas, karena tunjangan profesi guru sebesar gaji pokok dirasa lebih besar dibandingkan dengan tunjangan kepala UPTD, bahkan dibandingkan tunjangan kepala dinas kabupaten !
Imbas kecemburuan sosial dari guru yang sudah senior, ternyata sudah juga teratasi dengan adanya sertifikasi guru bagi yang sudah berumur 50 tahun meski pun belum memenuhi kompetensi pendidikan setara S-1 atau D-4.
Kini tinggalah guru-guru negeri yang belum memiliki kualifikasi akademik strata 1
dan guru-guru honorer yang perlu mengejar ketertinggalan kesejahteraan tersebut. Bagi guru yang belum S-1 maka disarankan untuk mengikuti pendidikan sampai setara S-1, baik guru PNS mau pun honorer. Dan bagi guru yang sudah S-1 baik PNS maupun honorer tinggal bersaing dalam mendapatkan kuota untuk mengikuti sertifikasi guru.
Tentu peluang guru PNS lebih besar dari pada peluang guru honorer. Hal ini dikarenakan proporsi peserta sertifikasi di tingkat kabupaten mengenal 75 % PNS dan 25% non-PNS.
Bagi mereka yang masih baru menjadi guru atau baru lulus dari LPTK keguruan, maka disarankan untuk mengambil jalan pintas….. Apakah jalan pintas itu ?
Ya, dengan mengambil program S-2. Karena peraturan mensyaratkan bahwa guru yang telah S-2 sesuai bidang studi yang diampu, dan memiliki golongan IV/b, maka dapat langsung lulus portofolio guru profesional.
Bungo, 9 September 2009
Uud Hudaya,S.Pd
SMAN 2 Pelepat Ilir, Bungo-Jambi

Senin, 07 September 2009

LOMBA GURU BERPRESTASI TAHUN 2009 KAB. BUNGO JAMBI

GURU BERPRESTASI TAHUN 2009


Laporan Kegiatan Lomba Guru Berprestasi Tahun 2009 Kabupaten Bungo Provinsi Jambi

1. Waktu Penyelenggaraan selama 5 hari:

a. Hari pertama : Tes tertulis, meliputi :

- Tes Kemampuan Akademik ( TPA ) sebanyak 150 soal. Terdiri atas soal-soal

Matematis dan Kebahasaan. Ternyata setelah diintip…persis dengan soal tes

TPA untuk penerimaan PNS Tahun 2008

- Tes Kemampuan Profesional, berupa pembuatan RPP dan Silabus

- Tes Kemampuan Pedagogik, berupa uji pengetahuan dasar-dasar pendidikan, model pembelajaran dan teori belajar

- Tes kemampuan Teknologi Informasi dan Komputer

Yang ngetes Tim dari Dinas Pendidikan Bungo dan Pemenang Lomba

Tahun lalu ( Ibu Vivin,S.Pd)

b. hari ke-2 : Tes wawancara kompetensi :

- Sosial

- Kepribadian,

yang ngetes pengawas

c. Hari ke-3 : Tes wawancara:

- kompetensi Pedagogik

- kompetensi sosial

Yang ngetes pengawas

d. Hari ke-4 : Tes wawancara dan presentasi Penelitian Tindakan Kelas

Yang ngetes Ibu Vivin, S.Pd

e. hari ke-5 : Peer Teaching

yang menguji Ibu Vivin , S.Pd.Nilai tertinggi untuk guru dengan pembelajaran

berbantuan Infokus dan Komputer( Berbasis Multimedia )

2. Tempat Pelaksanaan :

a. Kantor Dinas Pendidikan Kab.Bungo

b. SMAN 2 Bungo

3. hasil :

Untuk Guru SMA : 1. Juara I : Hasiholan S.Pd, dari SMAN 2 Bungo

Juara II : Uud Hudaya,S.Pd, dari SMAN 2 Pelepat Ilir

Juara III : Ir. Baso Arif, dari SMK 1 Tanah Sepenggal

Untuk Guru SMP : Juara I : Hertin AR,S.Pd, dari SMPN Bathin II Babeko

Juara II : Meiyeni,S.Pd , dari SMPN 5 Ma.Bungo

Juara III : Juriah, S.Pd, SMON 1 Pelepat Ilir

Untuk Guru SD : Juara I : Sri Deliana,S.Pd

Untuk Guru TK : Wasiah,S.Pd,, dar TK Pembina Ma.Bungo

4. Juara I Guru Berprestasi mewakili Kabupaten Bungo pada Lomba Guru Tingkat

Provinsi

5. Para Pemenang mendapat :

- SK Bupati Bungo tentang Pemenang Lomba Guru Berprestasi 2009;

- Piagam Penghargaan dari Bupati Bungo;

- Uang , Juara I mendapat Rp 1000.000,-

Juara II mendapat Rp 750.000,-

Dan Juara III mendapat Rp 500.000,-.

Pada Pembukaan Lomba, Ka.DinasPendidikan Bungo, Bpk.S BudiHartono,SH , mengatakan, bahwa guru pemenang pada tingkat provinsi yang mewakili Kabupaten Bungo akan dipromosikanUntuk menjadi calon Kepala Sekolah.