Kamis, 10 September 2009

SERTIFIKASI GURU : IMBASNYA DI TINGKAT SEKOLAH

SERTIFIKASI GURU: IMBASNYA DI TINGKAT SEKOLAH
Sertifikasi guru sudah bergulir 2 tahun. Kini, profesi guru menjadi profesi yang cukup bergengsi. Pada Top Ten Metro TV, yang mengulas 10 profesi yang disukai masyarakat,Ternyata profesi guru menempati urutan pertama, yang diikuti dengan profesi dokter, paramedis, dan seterusnya. Ini adalah suatu perubahan yang sangat luar biasa selama 60 tahunan. Sejarah keguruan menorehkan bahwa supremasi profesi guru pernah terjadi pada saat penjajahan Belanda. Pada saat itu menjadi guru sangat selektif sekali. Tidak sembarang orang bisa untuk menjadi guru. Setelah seorang sarjana lulus dan mengabdikan sebagai guru di sebuah sekolah, maka ia pun masih harus melalui tahapan pemantauan pamong guru dan pengawas, sebelum dianggkat sebagai guru. Pada Buku “Sukarno : Penyambung Lidah Rakyat”, tertulis bahwa Sukarno, Presiden pertama RI kita pun pernah menjadi tenaga guru honorer, dan..tidak lulus menjadi guru….Saat itu, dokter yang menjabat sebagai dosen memiliki penghasilan yang lebih tinggi dari dokter praktik. Itulah mengapa pada Zaman Belanda guru dipanggil dengan panggilan Ndoro Guru pada masyarakat Jawa, yang menandakan Guru menempati posisi sebagai priyayi yang mendapat posisi terhormat.
Setelah 60 tahunan, kini posisi itu kembali ke tempatnya semula. Profesi Guru bukan lagi profesi sembarangan yang melulu diisi oleh orang-orang buangan: Yang gagal masuk IKIP lalu terpaksa masuk IKIP. Yang gagal jadi dokter, terpaksa jadi guru dan sebagainya. Kini orang-orang terbaik bangsa sudah membidik guru sebagai profesi yang prospektus dan memjanjikan kesejahteraan bagi penyandangnya.
Di Tingkat nasional, kini anggaran terbesar APBN adalah untuk pendidikan yaitu sebesar minimal 20 % yang mesti juga diikuti oleh APBD provinsi dan kabupaten. Apabila hal ini dapat berjalan sesuai ketentuan , maka pendidikan pada umumnya dan kesejahteraan guru pada khususnya menjadi lebih maju setara dengan kemajuan di negara-negara maju dan tetangga. Pada acara Rembug Nasional Pendidikan , Mendiknas Bambang Sudibyo, menggaris bawahi bahwa apabila sertifikasi ini berjalan , maka ratusan trilyun akan mengalir untuk kesejahteraan guru. Bahkan Paskah Suzeta sebagai Ketua Bapenas, pernah menyampaikan pada berita berjalan TV, bahwa terjadi kecemberuan sosial dengan profesi guru karena dana negara tersedot banyak untuk profesi ini.
Imbas logis dari kebijakan profesi ini di kalangan guru di lapangan sangat luas. Kini dikenal Guru dan guru. Guru ( dengan G huruf besar) memiliki penghasilan rata 5 juta, sementara guru biasa yang belum tersertifikasi bergaji 1,5 - 3 juta. Ini memicu kecemburuan di kalngan guru itu sendiri bahkan untuk di tingkat sekolah. Tetapi kecemburuan ini tidak terlalu menajam karena mereka yang tersertifikasi pun dibebani tugas mengajar yang berat, yaitu wajib mengajar 24 jam seminggu, kecuali untuk kepala sekolah yang cukup mengajar 6 jam , serta wakil kepala sekolah dengan jam wajib 12 jam. Selebihnya wajib 24 jam pada bidang tugas sesuai bidang studi yang diampu.
Ini pun di tataran lapangan mengakibatkan ekspansi jam mengajar yang telah terbukti menyisihkan tenaga honorer. Hampi setiap tahun di sekolah-sekolah negeri, sejumlah guru honorer dirumahkan, karena jam mengajarnya diambil alih oleh guru negeri demi
hukum dan peraturan serta tuntutan profesi.
Imbas lainnya adalah pengawas yang merupakan tenaga quality control dari kinerja guru mengalami kesenjangan penghasilan yang otomatis menurunkan prestisenya dimata guru. Mungkinkah yang bergaji 3 juta mengawasi yang bergaji 5 juta ? tapi untunglah bahwa hal ini sudah dapat diatasi dengan keluarnya Peraturan Pemerintah yang memasukan tenaga pengawas sebagai jabatan fungsional yang juga berhak atas tunjangan fungsional. Tetapi dengan syarat : pengawas itu berasal dari guru atau kepala sekolah yang tersertifikasi dan mendapat tugas tambahan sebagai pengawas.
Imbas lainnya adalah sulitnya mencari guru yang mau memduduki jabatan kantor semisal kepala UPTD atau Kepala Bagian/Bidang di kantor Dinas Pendidikan kabupaten.
Hal ini jelas, karena tunjangan profesi guru sebesar gaji pokok dirasa lebih besar dibandingkan dengan tunjangan kepala UPTD, bahkan dibandingkan tunjangan kepala dinas kabupaten !
Imbas kecemburuan sosial dari guru yang sudah senior, ternyata sudah juga teratasi dengan adanya sertifikasi guru bagi yang sudah berumur 50 tahun meski pun belum memenuhi kompetensi pendidikan setara S-1 atau D-4.
Kini tinggalah guru-guru negeri yang belum memiliki kualifikasi akademik strata 1
dan guru-guru honorer yang perlu mengejar ketertinggalan kesejahteraan tersebut. Bagi guru yang belum S-1 maka disarankan untuk mengikuti pendidikan sampai setara S-1, baik guru PNS mau pun honorer. Dan bagi guru yang sudah S-1 baik PNS maupun honorer tinggal bersaing dalam mendapatkan kuota untuk mengikuti sertifikasi guru.
Tentu peluang guru PNS lebih besar dari pada peluang guru honorer. Hal ini dikarenakan proporsi peserta sertifikasi di tingkat kabupaten mengenal 75 % PNS dan 25% non-PNS.
Bagi mereka yang masih baru menjadi guru atau baru lulus dari LPTK keguruan, maka disarankan untuk mengambil jalan pintas….. Apakah jalan pintas itu ?
Ya, dengan mengambil program S-2. Karena peraturan mensyaratkan bahwa guru yang telah S-2 sesuai bidang studi yang diampu, dan memiliki golongan IV/b, maka dapat langsung lulus portofolio guru profesional.
Bungo, 9 September 2009
Uud Hudaya,S.Pd
SMAN 2 Pelepat Ilir, Bungo-Jambi

Tidak ada komentar: